Kota Islami menjadi dambaan. Pasalnya, melalui kota ini kehidupan penuh keadaban akan terwujud. Kota Islami pun mencerminkan sebuah hubungan sosial yang harmonis. Mensyaratkan kerukunan, ketertiban, dan kemakmuran, tidak hanya dalam arti fisik (kasatmata), tapi juga nonfisik. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa dan bagaimana sebuah kota disebut Islami?
Alquran Surah al-Baqarah (2:126) menyebutkan, "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: Dan kepada orang yang kafir pun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali."
Meritokrasi
Ayat itu menegaskan bahwa ciri kota Islami adalah mendapat rahmat dari Tuhan. Rahmat Tuhan tidak hanya bagi orang beriman, tapi juga orang yang tidak beriman. Itu artinya, jika umat beriman ingin mewujudkan kota Islami, ia selayaknya bekerja lebih keras. Hal ini dikarenakan kota Islami hanya dapat melekat dalam sebuah wilayah saat tertata dan sistem meritokrasi.
Meritokrasi mensyaratkan reward bagi mereka yang mempunyai potensi. Hanya orang-orang yang mempunyai ilmu dan kemampuanlah yang layak mendapatkan hadiah. Dalam konteks kota Islami, kepemimpinan selayaknya didasarkan pada sistem itu. Keberhasilan seseorang dinilai dari seberapa banyak ia membuat kebajikan dalam sebuah komunitas.
Kota Islami dengan demikian terbangun atas sistem kepemimpinan yang andal. Yaitu, sebuah wilayah yang dipimpin oleh mereka yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas dalam membangun sebuah masyarakat.
Saat seorang pemimpin mampu memimpin dirinya dan warganya maka kehidupan akan dipenuhi penanda kesejahteraan dan kemakmuran. Masyarakat akan bertindak santun tanpa harus takut dengan sanksi. Masyarakat pun akan jujur walaupun tidak ada orang yang melihat dan menilai.
Perilaku di jalan
Ketertiban masyarakat juga akan tersamai dengan baik. Hal tersebut dapat tercermin dalam perilaku di jalan raya. Jalan raya menjadi potret peradaban masyarakat. Pasalnya, masyarakat banyak menghabiskan waktu di jalan. Kota Islami akan dipenuhi oleh mereka yang tertib lalu lintas, setia menunggu lampu merah untuk berhenti, dan berhenti saat lampu kuning menyala. Jalan raya bagi kota Islami merupakan manifestasi keimanan seseorang. Saat seseorang mampu tertib dan mematuhi rambu lalu lintas, ia telah beriman (percaya) bahwa Allah Maha Melihat.
Lebih lanjut, dalam kota Islami terbangun relasi yang baik antara yang muda dan tua. Mendahulukan penumpang usia lanjut, memberi tempat duduk bagi orang yang sudah tua, dan memuliakan orang tua menjadi sebuah keniscayaan.
Relasi yang baik juga tercermin dalam sikap penghormatan terhadap sesama hidup. Masyarakat dalam bingkai kota Islami senantisa mendasarkan hidupnya pada humanisasi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivikasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionalistik yang melihat manusia dengan cara parsial (Kuntowijoyo, 1991).
Homo Homini Socius
Kota Islami perlu terbangun dari manusia yang sadar diri bahwa mereka adalah manusia. Manusia yang selayaknya bertindak seperti manusia, bukan seperti hewan atau yang lain. Manusia dengan demikian senantisa melangkahkan kaki dan bertindak menuju proses keadaban (homo homini socius).
Saat hal tersebut telah terpenuhi maka kota akan aman dan tenteram. Pasalnya, manusia telah membudaya. Ia telah keluar dari homo homini lupus (manusia pengerkah). Manusia pun saling mengasihi dan menyayangi. Jadi, tidak ada lagi tindak kekerasan atas nama apa pun. Yang ada adalah kehidupan penuh cinta dan harmoni.
Saat manusia ternaungi cinta maka alam pun akan merespons dengan tumbuhnya tumbuhan yang bermanfaat. Tumbuhan itu akan menghasilkan kemanfaat bagi manusia. Manusia pun tidak akan kekurangan. Pasalnya, alam telah menyediakannya secara cuma-cuma.
Penduduk kota Islami tidak akan pernah kelaparan dan kekurangan bahan makanan. Pasalnya, tanah mereka subur, setiap yang ditanam tumbuh dengan lestari dan bermanfaat. Bencana yang dapat merusak ladang pertanian dan perkebunan pun akan jauh dari mereka.
Sebuah gambaran sebagaimana tercermin dalam Surah Saba (34: 15), "Sungguh, bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), 'Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.'" Semoga, banyak kota Islami di Indonesia, sehingga bangsa ini berdaulat dan berkemajuan.
Benni Setiawan
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta
0 komentar: