informasi dan komunikasi.
Guru Besar Komunikasi University of Oregon mengemukakan bahwa freedom of the press as the right to communicate ideas, opinion, and information through the printed word without governmental restraint
(kebebasan pers adalah hak setiap orang untuk menyampaikan ide-ide, pendapat serta informasi melalui barang cetakan tanpa campur tangan pemerintah.
Beberapa bulan terakhir, berbagai bakal calon Bupati Bantaeng bermunculan di beberapa media massa terutama media online yang seakan menjadi alat untuk memperkenalkan diri melalui suatu kehgoatan yang
pada akhirnya menimbulkan persepsi di masyarakat. Orang-orang yang telah akrab dengan media pasti sudah terbiasa dengan pemberitaan para politisi yang akan mewarnai Pilkada tahun 2018 tersebut.
Pemberitaan para politisi sangat beragam, seperti pemberitaan terkait prestasi, pertemuan dengan elite politik dan pejabat lain, bahkan pemasangan spanduk dan baliho. Belum lagi ketika sang bakal calon mendapat dukungan dari orang-orang yang yang memiliki citra baik derta memiliki jabatan tinggi di negeri ini. Perlukah itu dilakukan media?
Inilah yang terlihat antara media dan politisi, sesederhana apapun itu media selalu bertanggungjawab menyebarkan sebuah informasi kepada khalayak dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan khalayak di era modern ini. Hal tersebut sejalan dengan HR Bukhari, ”Sampaikanlah Walau Hanya Satu Ayat”
Dari hadist trsebut, saya berpikir bahwa media selalu berusahan menyampaikan informasi kepada khalayak meski sesederhana mungkin, termasuk para bakal calon Bupati Bantaeng yang berusaha memperkenalkan
diri melalaui media tentunya dengan bebera tujuan selain dikenal masyarakat.
Tapi perlu diketahui bahwa ada beberapa konsekuensi hubungan antara media denga politik yang di kemukakan oleh Prof Hafied Cangara, M.Sc., Ph.D. dalam bukunya Komunikasi Politik yakni: arogansi profesi, terutama para pekerja media yang berusia muda, tidak menjaga privasi orang lain, memandang proesi wartawan sebagai profesi istimewa, melakukan malpraktik jurnalistik, SDM yang tidak professional, untuk bisa membedakan mana yang seharusnya diberitakan dan tidak bisa
diberitakan, mengacaukan masyarakat dan menabrak rambu-rambu Undang-Undang Pers dan penyiaran serta etika jurnalistik. (Erw/Jn)
Penulis : Qudratullah Rustam, (Mahasiswa Pascasarjana Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar)
0 komentar: