Mengawali surat ini, izinkan saya, M. Ichdar Y, Pendiri Sanggar Seni dan Budaya Al-Farabi Bulukumba menghaturkan permohonan maaf jika surat terbuka ini dianggap kurang sopan. Tak terbersit sedikitpun niat untuk itu, apa lagi menggurui.
Bapak Kapolda Sulsel Yang Kami Hormati, Suatu siang di tengah terik yang menggigit, saya singgah di sebuah warkop di seputaran Jl. Boulevard Makassar, sedikit meneduhkan gerah yang perlahan menguasai. Kebetulan meja paling pojok masih kosong. Sebuah koran tanpa tuan tergeletak di meja. Sambil menikmati segelas es-teh yang baru saja kupesan, koran itu kuraih.
Salah satu berita menarik perhatianku, "Kunjungan Kapolda Sulsel Disambut Angngaru," begitu judul beritanya. Sebagai penggiat seni tradisi, tentu saja saya gembira membaca berita itu. Karena ulasan berita itu tidak terlalu detil, saya lalu berinisiatif memanfaatkan smartphone yang kutenteng sejak tadi, mencari berita seputar kunjungan Bapak Kapolda Sulsel beserta seremoni penyambutannya.
Tak butuh waktu lama, serangkai judul berita tersaji dengan tema yang persis sama seperti yang kucari. Tidak kurang dari belasan berita kubaca. Dari berita itu sebagian besar diantaranya mengabarkan tentang seremoni penyambutan yang menyertakan konten tradisi/adat Sulawesi Selatan didalamnya seperti tarian khas Sulsel dan 'Angngaru'.
Karena berita ini, gerah terik yang seperti menguliti perlahan mulai tak terasa. Rasa haru dan bangga begitu kuat membentuk sejuk, mengisi segenap ruang kebatinanku. Terima kasih Bapak Kapolda serta seluruh jajaran Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan atas pelibatan seni tradisi dalam kegiatan kepolisian.
Sebagai pribadi, dan juga selaku perwakilan masyarakat penggiat seni di Sulawesi Selatan menyampaikan apresiasi yang tinggi atas kepedulian dan perhatian Bapak Kapolda Sulsel atas partisipasinya melestarikan tradisi dan kebudayaan di Sulawesi Selatan. Sungguh, partisipasi Kepolisian ibarat suplemen energi bagi aktivitas kami. Sekali lagi, terima kasih Pak.
Bapak Kapolda Yang Kami Cintai, Persembahan tarian Ibu-Ibu Polwan yang ayu dan jelita adalah anugerah kehormatan yang begitu tinggi bagi kami masyarakat Sulawesi Selatan. Menghadirkan tarian tradisional Sulsel di lingkup Kepolisian, terlebih dilakonkan oleh anggota kepolisian (Polwan) kami maknai sebagai sebuah penghormatan yang tinggi dari negara terhadap tradisi kami. Gerak tari para Polwan yang lentur nan anggun benar-benar menghadirkan warna baru keindahan dalam semesta tradisi masyarakat Sulsel.
Hanya saja, sedikit catatan pinggir ingin kami sertakan. Bukan koreksi, hanya semacam tambahan informasi agar pementasan tarian di lingkup kepolisian bisa lebih sempurna di masa depan. Maka, tanpa mengurangi kadar terima kasih dan apresiasi yang telah kami haturkan, beberapa informasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, sebagai warisan kebudayaan yang telah diturunkan secara turun temurun, sebuah tarian tidak hanya terdiri dari irama dan gerakan. Kostum dan aksesoris juga adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tarian. Dengan kata lain, warna dan bentuk baju serta kelengkapan aksesoris lainnya adalah simbol yang mewakili makna atas nilai-nilai budaya sebagai pesan yang diceritakan melalui tarian.
Kedua, Tarian itu sebenarnya mewakili sebuah cerita, entah tentang kehormatan, harga diri, atau kisah lain yang menyangkut kearifan lokal sebuah daerah. Maka sebagai penari, ia harus bisa menjadi penutur cerita yang baik. Bagaimana caranya? Irama/suara/bunyi, gerak, warna, dan bentuk aksesoris harus menjadi satu kesatuan utuh yang melekat dalam diri penari sebagai pihak penutur.
Ketiga, ditinjau dari segi kepatutan, tidak sulit bagi kita menyimpulkan bahwa seseorang berperilaku tidak patut ketika masuk ke mesjid dengan menggunakan sepatu, semahal dan sebersih apapun sepatu yang dipakainya. Sebaliknya, tidak menggunakan sepatu ketika berkunjung pada sebuah intitusi pemerintah atau kegiatan resmi lainnya juga akan dinilai tidak patut. Mengapa begitu? Padahal ini hanya soal kostum. Begitulah, setiap keadaan memiliki standar kepatutan sendiri-sendiri, tak terkecuali dengan sebuah pementasan tarian.
Keempat, berdasarkan poin pertama, kedua, dan ketiga di atas, fakta bahwa tarian yang dipentaskan Ibu-Ibu Polwan (menggunakan seragam polisi) yang tidak menggunakan kostum seharusnya (baju bodo) beserta aksesoris yang sepatutnya menyebabkan persembahan tarian menjadi kurang sempurna. Tarian yang dipentaskan cacat simbol juga makna, akhirnya Sang Penari tidak menjadi penutur yang baik.
Demikian surat terbuka ini saya sampaikan, sekali lagi tidak ada maksud untuk menggurui. Ini hanya sebagai upaya untuk meluruskan, demi orisinalitas dan pelestarian tradisi dan kebudayaan di Sulawesi Selatan.
OLEH: M. Ichdar Y, Ketua Sanggar Seni Budaya Alfarabi Bulukumba
0 komentar: